Telset.id – Bayangkan jika ruang redaksi Anda bisa memproses 100.000 dokumen pemilu dalam hitungan jam, atau memperbarui ribuan profil politik secara otomatis. Itulah yang sedang terjadi di Amerika Latin, di mana kecerdasan buatan (AI) tak lagi sekadar wacana futuristik, melainkan alat sehari-hari yang mengubah wajah jurnalisme. Tapi di balik efisiensi yang ditawarkan, ada pertanyaan besar: apakah AI akan menjadi mitra atau pengganti jurnalis?
Di banyak negara Amerika Latin, ruang redaksi sering kali beroperasi dengan anggaran terbatas. Di sinilah AI dianggap sebagai peluang emas untuk meningkatkan efisiensi kerja. Mulai dari pelaporan otomatis hingga penyebaran berita berbasis algoritme, media seperti La Silla Vacía di Kolombia, Chequeado di Argentina, Núcleo di Brasil, dan Verificado di Meksiko telah memelopori penggunaan teknologi ini. Namun, adopsi AI tidak datang tanpa dilema. Bagaimana memastikan bahwa alat ini tidak justru memperkuat bias yang sudah ada? Bagaimana agar AI membantu tanpa mengambil alih peran jurnalis? Dan keterampilan baru apa yang harus dikuasai para profesional media?
Pergeseran ini bukan hanya soal teknologi, melainkan juga transformasi budaya di ruang redaksi. Banyak tim jurnalistik di Amerika Latin kini mempelajari cara kerja algoritme, dampaknya pada proses editorial, dan strategi memanfaatkan AI tanpa mengorbankan integritas profesional. Regulasi dan transparansi menjadi kunci dalam penggunaan AI di media, sementara inovasi lokal terus bermunculan untuk menjawab tantangan global seperti otomatisasi konten dan pengecekan fakta.
Data: Bahan Bakar dan Kendala Utama
AI hanya sebaik data yang dimilikinya. Di Amerika Latin, akses ke data yang andal masih menjadi tantangan serius. Banyak data pemerintah belum terdigitalisasi atau tidak lengkap, sehingga menyulitkan pemanfaatan AI secara optimal. La Nación Data di Argentina, dipimpin oleh Momi Peralta Ramos dan Florencia Coehlo, telah bertahun-tahun mengolah data publik agar dapat digunakan jurnalis. Pada pemilu Argentina 2023, mereka menggunakan AI dan teknologi pengenalan gambar untuk memeriksa dokumen penghitungan suara secara akurat. Dengan bantuan relawan, lebih dari 100.000 dokumen berhasil diproses dengan cepat, mendeteksi potensi kesalahan dan memperkuat pengawasan pemilu.
Masalah lain adalah konsentrasi data pengguna di tangan perusahaan teknologi besar, yang menciptakan risiko akses tidak merata. Untuk mengatasi hal ini, inisiatif jurnalisme investigasi mulai bermunculan. Di Peru, Nelly Luna Amancio dari Ojo Público memimpin pengembangan Funes, alat AI yang dirancang untuk mendeteksi korupsi dalam kontrak pemerintah. Alat ini membantu memperkuat transparansi di wilayah dengan akses informasi terbatas.
Inovasi dan Peran Pakar Lokal
Rigoberto Carvajal, insinyur sistem asal Kosta Rika, memainkan peran penting dalam mengembangkan teknologi untuk jurnalisme investigasi. Karyanya di International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) membantu jurnalis mengolah data besar untuk mengungkap jaringan korupsi dan penghindaran pajak. Carvajal terlibat dalam investigasi Panama Papers, di mana teknik pembelajaran mesin digunakan untuk mengklasifikasi dokumen dan menemukan pola tersembunyi. Kini, ia memimpin pengembangan Nina di Centro Latinoamericano de Investigación Periodística (CLIP), aplikasi berbasis web yang memanfaatkan AI untuk memproses data besar dan tak terstruktur.
Nina membantu jurnalis menelusuri dokumen dengan mudah menggunakan antarmuka percakapan yang disesuaikan dengan kebutuhan investigasi. Dengan keahliannya, Carvajal memperkuat transparansi dan akuntabilitas melalui teknologi, menunjukkan potensi besar AI dalam jurnalisme investigasi di Amerika Latin.
Pergeseran Struktural di Ruang Redaksi
Penerapan AI dalam organisasi media tidak hanya menciptakan kebutuhan akan profil profesional baru, tetapi juga mengubah cara ruang redaksi beroperasi. AI membentuk kembali tim, mendorong inovasi naratif, pengembangan produk digital, dan strategi baru untuk produksi serta distribusi konten. Integrasinya telah mengubah cara jurnalis berinteraksi dengan informasi, yang pada gilirannya mengubah struktur ruang redaksi.
Pelatihan jurnalis dalam penggunaan perangkat AI dan analisis data menjadi salah satu tantangan utama. Banyak ruang redaksi mulai mengintegrasikan pendidikan teknologi generatif dan pembelajaran mesin ke dalam program pengembangan internal. Hal ini memungkinkan jurnalis tidak hanya memahami cara kerja algoritme, tetapi juga memanfaatkannya untuk meningkatkan pelaporan.
Di La Silla Vacía, Kolombia, Karen De la Hoz memelopori penerapan AI di bagian “Quién es Quién”, direktori tokoh politik Kolombia. Alat ini memungkinkan pembaruan otomatis lebih dari 1.300 profil politik, mengatasi tantangan yang sebelumnya harus dikelola secara manual. Untuk mencapai hal ini, tim bermitra dengan Orza dan Universidad de los Andes, melatih model bahasa berdasarkan pelaporan mereka sendiri.
Di Infobae, Argentina, Daniel Hadad dan Opy Morales memimpin pengembangan Scribnews—perangkat internal yang memungkinkan pembuatan artikel berita otomatis secara real-time. Implementasinya menjadi kunci dalam meliput peristiwa penting seperti pemilu, pergerakan pasar keuangan, dan hasil pertandingan olahraga. AI telah menjadi asisten utama bagi jurnalis, dan integrasinya membutuhkan perekrutan profil baru dengan keahlian dalam teknologi generatif.
AI juga membuka peluang baru dalam mempersonalisasi pengalaman pengguna. Di Clarín, Argentina, Julián Gallo memimpin pengembangan UalterIA, asisten pembaca bertenaga AI yang memungkinkan pengguna mengakses berita dalam berbagai format, termasuk ringkasan, linimasa, dan pertanyaan umum. Alat ini dirancang untuk meningkatkan pengalaman membaca dengan memungkinkan pengguna mengonsumsi informasi sesuai kebutuhan dan minat spesifik mereka.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi organisasi media adalah peran algoritme dalam memediasi informasi. Platform digital seperti Facebook, Google, dan TikTok telah membentuk cara berita dikonsumsi melalui sistem rekomendasi yang memprioritaskan konten tertentu. Apa yang kita baca, tonton, dan dengar di platform ini bukanlah hasil pilihan bebas, melainkan serangkaian kalkulasi tak kasat mata yang menentukan konten berdasarkan interaksi sebelumnya.
Keberadaan algoritme yang ada di mana-mana membuat dampaknya sering kali tak terasa. Kita tidak melihatnya, tetapi mereka selalu hadir, memengaruhi topik yang trending, media yang menjangkau audiens, dan bagaimana narasi realitas sehari-hari dibangun. Di Meksiko, Daniela Mendoza Luna, direktur Verificado, menyaksikan langsung bagaimana algoritme dapat memperkuat misinformasi. Selama pandemi COVID-19, ia dan timnya menggunakan Google PinPoint untuk mentranskripsi dan menganalisis video dari YouTuber yang menyebarkan misinformasi vaksin. Melalui strategi ini, mereka dapat memetakan penyebaran kebohongan dan merancang respons digital yang lebih efektif.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: kita sering mencoba memahami apa arti algoritme bagi manusia, tetapi apa arti manusia bagi algoritme? Bagi sistem AI, kita pada dasarnya adalah serangkaian klik dan pola perilaku. Tujuan utama mereka adalah agar kita tetap berada di platform selama mungkin, yang sering kali tidak memprioritaskan kebenaran, melainkan perhatian kita. Proses ini memperkuat keyakinan yang sudah ada, memicu bias konfirmasi, dan dinamika polarisasi. Akibatnya, kita terjebak dalam gelembung informasi yang membatasi perspektif.
Di Argentina, tim Chequeado aktif berupaya memahami dan merespons tantangan ini. Di bawah kepemimpinan Pablo Fernández dan kini Franco Piccato, mereka mengembangkan laboratorium AI untuk bereksperimen dengan teknologi generatif dalam jurnalisme. Mereka juga meluncurkan program edukasi yang berfokus pada penguatan literasi digital dan pemahaman tentang bagaimana AI memengaruhi sirkulasi informasi.
Pengaruh algoritme juga terlihat dalam cara media merancang strategi distribusi. Mengejar lalu lintas web sering mengarah pada prioritas konten yang menarik atau viral, dengan mengorbankan kedalaman dan kualitas jurnalistik. Kurangnya transparansi seputar cara kerja algoritme menempatkan jurnalis dan editor pada posisi ketergantungan pada perusahaan teknologi besar.
Untuk mengurangi ketergantungan ini, Chequeado menerapkan alat seperti Chequeabot sejak 2016—sistem berbasis AI yang menyederhanakan proses pengecekan fakta dengan memungkinkan deteksi informasi palsu yang lebih efisien. Sementara itu, beberapa media mulai menjajaki model distribusi alternatif, seperti buletin tersegmentasi dan penggunaan WhatsApp serta Telegram untuk menjaga komunikasi langsung dengan audiens tanpa bergantung pada platform pihak ketiga.
Etika dan Transparansi dalam Penggunaan AI
Pengadopsian perangkat generatif dalam jurnalisme membawa kekhawatiran valid seputar transparansi, bias, dan tanggung jawab editorial. Mengintegrasikan AI ke dalam ruang redaksi tidak tanpa dilema etika dan menimbulkan pertanyaan baru: Siapa yang bertanggung jawab ketika algoritme membuat kesalahan? Bagaimana mencegah AI memperkuat prasangka? Sejauh mana AI dapat mengotomatiskan tugas tanpa mengorbankan esensi jurnalisme?
Di Kolombia, Claudia Báez, salah satu pendiri dan direktur umum Cuestión Pública, menjawab tantangan ini dengan Proyecto Odín, alat yang dirancang untuk mengontekstualisasikan informasi politik dan pemerintahan secara real-time. Timnya menggunakan teknik Retrieval Augmented Generation (RAG), yang memungkinkan AI mengambil informasi dari basis data jurnalistik dan menghasilkan konten yang sangat kontekstual. Dengan lebih dari 4.300 catatan dari investigasi sebelumnya, Odín mempercepat akses ke data kompleks tanpa mengorbankan akurasi atau verifikasi manusia.
Meskipun otomatisasi memfasilitasi analisis informasi dan pembuatan laporan, hal itu juga meningkatkan risiko terkait ketidakjelasan dan penyalahgunaan data. Di sinilah etika dan transparansi menjadi penting. Di Brasil, Sérgio Spagnuolo, pendiri Núcleo, mempromosikan pengembangan perangkat sumber terbuka untuk meningkatkan keterlibatan audiens tanpa mengorbankan transparansi. Núcleo adalah media pertama di Brasil yang menerbitkan pedoman khusus tentang penggunaan AI di ruang redaksi, menetapkan standar jelas tentang kapan dan bagaimana menerapkan teknologi ini dalam produksi konten berita.
Di antara pengembangan terbaru mereka adalah Nuclito, chatbot yang memungkinkan pengguna berinteraksi dengan konten Núcleo, dan Nuclito Resume, alat AI sumber terbuka yang merangkum laporan menjadi tiga poin kunci untuk mempercepat pembacaan. Dengan menyediakan kode alat ini untuk publik, Spagnuolo dan timnya memperkuat prinsip dasar: AI dalam jurnalisme harus dapat diaudit dan diakses, mencegahnya menjadi kotak hitam tanpa pengawasan editorial.
Potensi AI dalam jurnalisme melampaui sekadar pembuatan konten dan efisiensi operasional—ia juga memainkan peran kunci dalam menghubungkan media dengan audiensnya. Jika diimplementasikan tanpa perlindungan tepat, teknologi ini dapat memperkuat bias yang ada dan mendistorsi narasi informasi. Itulah sebabnya pengaturan penggunaan AI dalam jurnalisme masih dalam proses. Penyusunan pedoman etika dan standar penggunaan membutuhkan kolaborasi erat antara jurnalis dan ahli untuk menyeimbangkan inovasi dengan tanggung jawab.
Masa Depan Jurnalisme di Amerika Latin
Jurnalisme di Amerika Latin berada di titik balik. AI telah menemukan tempatnya di ruang redaksi—bukan hanya sebagai alat untuk mengotomatiskan tugas, tetapi juga sebagai katalisator perubahan mendalam dalam cara berita diselidiki, diceritakan, dan dibagikan kepada khalayak. Namun, dampaknya tidak seragam atau tak terelakkan. Di balik setiap kemajuan terdapat individu-individu perintis—jurnalis yang memilih untuk memimpin dan membentuk perubahan teknologi agar sesuai dengan kebutuhan dan tantangan spesifik kawasan ini.
Para profesional ini sedang memetakan arah. Dari perangkat yang memegang kendali hingga sistem yang mengoptimalkan distribusi berita, karya mereka menunjukkan bahwa AI bukanlah akhir dari jurnalisme, melainkan sarana untuk memperkuatnya. Namun, satu pertanyaan penting tetap ada: Siapa yang akan mengendalikan transformasi ini? Sementara platform global terus memengaruhi apa yang kita baca dan bagikan, media di seluruh Amerika Latin telah menunjukkan bahwa AI juga dapat dimanfaatkan untuk membangun kredibilitas, meningkatkan liputan berita, dan memperluas akses informasi.
Tantangan saat ini bukan hanya mengintegrasikan AI, tetapi melakukannya dengan visi jelas. Jika organisasi media ingin menghindari agenda mereka ditentukan oleh teknologi, mereka harus berinvestasi dalam pelatihan, mengembangkan standar transparansi, dan memastikan bahwa perangkat ini digunakan untuk meningkatkan jurnalisme—bukan melucuti nilai-nilai intinya. Di Amerika Latin, masa depan jurnalisme tidak ditulis oleh algoritme, tetapi oleh para pionir yang berani bereksperimen tanpa melupakan misi untuk menginformasikan dengan ketelitian dan tanggung jawab.
Seperti yang terjadi di banyak sektor, talenta digital menjadi kunci kesuksesan adopsi AI di ruang redaksi. Tanpa sumber daya manusia yang terampil, teknologi secanggih apa pun tidak akan memberikan dampak optimal. Di Amerika Latin, para jurnalis tidak hanya belajar menggunakan AI, tetapi juga membentuknya sesuai dengan konteks lokal—sebuah pelajaran berharga bagi dunia jurnalisme global.